Terima Uangnya, Jangan Pilih Orangnya?

Sabtu, 14 Juni 20140 komentar

Oleh : Derit Vikiyono (Ketua PD KAMMI Ponorogo, Twitter : @Deritvikiyono)
Saya tercengang dan masih bertanya-tanya, mengapa dari dulu hingga sekarang masih saja ada “sogok-menyogok” menggunakan uang dalam pemilihan di Indonesia ini. Apakah memang Negara ini (rakyat) belum siap untuk memasuki era demokrasi yang lebih terbuka dan transparan? Dari data empiris dilapangan menunjukkan dan menguatkan hampir dalam setiap pemilihan kepala daerah baik gubernur, presiden, walikota, bupati dan juga pemilihan legislative seperti DPRD tingkat I, DPRD tingkat II dan DPR RI selalu ada saja oknum yang menggunakan uang untuk membeli suara. Ya, membeli suara rakyat.
Hebatnya, Isu pemblian suara ini tidak hanya terjadi di Desa, bahkan di kota pun terjadi. Maksud saya, di Kota yang rata-rata penduduknya adalah masyarakat yang terdidik seharusnya tidak mau suaranya dibeli karena mereka seharusnya memilih menggunakan logika yang logis, bukan sekedar memilih kucing dalam karung, apalagi yang jelas-jelas berbuat curang dengan membeli suara. Ini sangat memprihatinkan. Apakah kita akan diam saja? Pemilih sehat tentu tidak demikian.
Kemudian timbullah sebuah pertanyaan di benak saya yang mungkin juga ada dalam benak pembaca sekalian, “darimana uang itu ia dapatkan?”. Menurut analisa saya uang itu didapat minimal dari tiga sumber yaitu 1)gaji atau penghasilan pribadi yang ia sisihkan untuk dana kampanye, 2)hasil deal-deal proyek (korupsi) hak rakyat yang telah disetting ketika menjabat sebagai anggota dewan periode sebelumnya, dan 3)hutang kepada sumber dana tertentu. Memang ketiganya ini baru analisa saya pribadi, namun mari coba kita kaji bersama.
Pertama dari gaji atau penghasilan pribadi yang ia sisihkan untuk dana kampanye. Ini menurut saya sumber dana yang halal dan baik, karena tidak melakukan kecurangan terhadap orang lain. Gaji/upah yang dimaksud adalah gaji/upah karena hasil kerja keras dengan cara yang halal. Sumber dana yang seperti ini adalah sumberdana yang tidak melanggar undang-undang, tidak merugikan dan tidak mengambil hak oranglain.
 Sumber dana kemungkinan kedua adalah hasil deal-deal proyek (korupsi) hak rakyat yang telah disetting ketika menjabat sebagai anggota dewan, meskipun tidak semua anggota dewan melakukan hal seperti ini. Masih ada anggota Dewan yang baik juga. Mungkin kita akan kesal jika tahu bahwa ada dewan yang berbuat curang seperti ini. dan sayangnya hal semacam ini tidak dipahami semua masyarakat. Apalagi masyarakat desa yang tidak berkecimpung di Pemerintahan Desa, pasti tidak tahu dan mungkin kaget, bahwa ternyata ada penyelewengan-penyelewengan hak rakyat oleh elit pemerintahan. Namun bagi orang yang berperan aktif dalam Pemerintahan desa ataupun pemerintahan daerah pasti sangatlah paham bagaimana teknis penyelewengan dana ini.
Sebagai contoh misalnya ada seorang anggota Dewan dari partai tertentu, sebut saja partai A, kemudia beliau berkunjung ke suatu Desa. Dia memberikan bantuan berupa masjid dengan syarat dana dipotong 5-10% yang masuk ke kantong anggota Dewan. Ini salah satu contoh penyelewengan. Dana untuk masjid saja berani untuk dimakan. Benar-benar keterlaluan. Dan ini terjadi di negeri kita. Padalah dana yang diberikan itu adalah dana dari pemerintah yang mana dana itu memang ditujukan untuk masyarakat, hanya saja turunnya melalui anggota dewan. Dana seperti inilah dana yang disisihkan untuk berkampanye. Bagus jika kampanyenya baik, namun akan rusak jika kasihkan berupa uang kepada masyarakat disekitar tempat itu untuk membeli suaranya. Ini sama halnya membodohi masyarakat. Masyarakat dibeli dengan dana mereka sendiri. Sungguh terlalu.
Sebagai contoh lagi, missal dalam proyek-proyek pembangunan jalan (aspal) yang dilakukan oleh pemerintah yang turun melalui dewan. Ini terjadi di beberapa tempat. Dalam kondisi seperti ini rakyat dikibuli, mereka diberikan aspal jalan asalkan mau  memilih anggota dewan yang membawanya, padalah dana itu memang untuk rakyat dan sekali lagi dana dari pemerintah itu adalah dana rakyat dari pembayaran pajak dll. Rakyat dibodohi, belum lagi jika proyeknya itu juga sudah deal-deal dengan kontraktornya. Ngeri.
Disini saya tidak bermaksud menyalahkan anggota dewan, toh sebenarnya juga tidak semua dewan seperti itu. Masih ada yang baik. Namun biasanya yang memiliki kekuasaan seringkali memanfaatkan untuk mendapatkan dana dengan cara yang merugikan rakyat. Dan ini yang biasa kita sebut Korupsi. Dan dana semacam ini adalah dana yang tidak baik.
Terakhir, calon anggota dewan bisa jadi hutang kepada sumber dana tertentu. Kalau yang ini sudah jelas merugikan. Orang yang berhutang, otomatis harus mengembalikan. Kapan mengembalikan? Jika dia terpilih menjadi anggota dewan. Mengapa sampai berani berhutang? Ini motifnya banyak, salah satunya adalah adanya sumber dana menggiurkan seperti point nomor dua diatas. Banyak proyek, banyak sumber dana untuk mengembalikan hutang. Maka tidak heran jika ada caleg yang menjadi stress ketika dia tidak terpilih menjadi anggota dewan. Maklum, hutangnya sudah menumpuk dan dia tidak mendapatkan sumber untuk mengembalikannya.
Dariketiga sumber dana diatas (yang bisa jadi digunakan untuk membeli suara rakyat), maka saya sarankan jika anda mendapatkan uang maka “terima saja uangnya, jangan pilih orangnya” karena memang uang itu sejatinya sumbernya dari dana pemerintah dan dana pemerintah adalah dana kita. Terus mengapa kok tidak boleh “memilih orangnya?”, ya sudah jelas secara sederhana saja kalau mereka mengeluarkan dana otomatis mereka juga berusaha mencari kembalian dengan cara apapun. Toh mereka memberikan uangnya juga “ikhlas”. Kalaupun uang itu dari kerja kerasnya maka itu adalah sedekah, namun jika uang itu dari sumber yang tidak jelas (missal korupsi) maka sebenarnya itu yang dikorupsi juga uang kita, uang rakyat.
Meskipun demikian, sekali lagi tidak semua calon seperti itu. Ada juga calon yang masih bersih tanpa membeli suara. Calon yang masih murni menggunakan cara-cara yang sesuai dengan aturan Undang-Undang yang ada, misalnya pemasangan Benner, sapanduk, bendera dan sosialisasi baik melalui media cetak, dan elektronik. Semacam inilah yang dibolehkan oleh undang-undang, bukan malah sebar uang. Dalam hal ini UU No 8 Tahun 2012 Tentang "PEMILU" Pasal 301 ayat 1 dan 2 telah menyatakan dengan tegas yaitu :
 “(1) Setiap pelaksana Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
(2) Setiap pelaksana, peserta, dan/atau petugas Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).”

Maka dari itu, mari kita menjadi pemilih cerdas, jangan mau dikibuli oleh orang-orang yang tidak bertangungjawab. Seakan-akan mereka menawarkan bantuan kepada kita, padahal mereka akan mengeruk uang Negara yang menjadi hak kita bersama. Lalu apa bedanya kita dengan zaman ketika kita dijajah? Dan apa pula bedanya mereka dengan para penjajah? Makadari itu, Jadilah pemilih cerdas untuk Indonesia yang lebih baik. Siap menerima uangnya dan tidak memilih orangnya? Jawaban ada ditangan kita masing-masing. Buktikan di tgl 9 April nanti
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. KAMMI Ponorogo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger