Kelahiran
KAMMI di era reformasi tidak muncul secara tiba-tiba. KAMMI adalah
bagian dari rencana gerakan yang dibangun oleh arus kebangkitan Dunia
Islam
pada umumnya, dan secara khusus berangkat dari kegelisahan anak-anak
muda muslim kampus di Indonesia. Perkembangan peran-peran umat Islam
dalam perbaikan negara dan masyarakat semakin menuai hasil, terutama
dalam pembentukan pandangan publik yang Islami. Indikasi ini nampak dari
kecenderungan budaya Islam yang semakin bersaing dengan budaya Barat
yang hegemonik, serta pengalihan wacana pengetahuan umum kepada
paradigma Islam sebagai sistem keilmuan alternatif dari yang selama ini
diterapkan dalam rangka memecahkan problematika kemanusiaan dan alam
dalam perspektif yang lebih aplikatif dan holistik, begitu juga dalam
realitas fakta sosial dan perkembangan konstelasi politik kehadiran
gerakan Islam menjadi salah satu kekuatan bangsa yang diperhitungkan
dalam mewujudkan Indonesia baru.
oleh: Rijalul Imam, S. Hum *)
“dengan membangun tradisi berpolitik KAMMI pada prinsip politik moral berbasis nalar intelektual...”
Latar Belakang
Perjuangan
sebuah cita-cita akan kemenangan Islam sebagai jiwa perjuangan KAMMI
dan solusi Islam sebagai tawaran perjuangan KAMMI maka perubahan yang
dicita-citakan KAMMI harus dipandang secara obyektif dan realisitis.
Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana mewujudkan itu semua. Pertanyaan
ini perlu disadari dalam alam kesadaran gerakan, bahwa sebenarnya wujud
eksistensi dirinya memiliki misi yang mulia dalam perbaikan
problematika umat. Kompleksitas problematika umat tidak dapat
diselesaikan oleh satu pihak, ia harus ditanggung bersama oleh umat ini
di seluruh lapisannya. KAMMI sebagai bagian dari lapisan pemuda memiliki
posisi dan peran strategis dalam konteks perubahan ini yakni sebagai
pewaris yang sah atas masa depan bangsa dan umat. Posisinya sebagai
gerakan yang menghimpun para pemuda terpelajar menjadikan KAMMI sebagai
wadah permanen yang menyemai bibit-bibit unggul lahirnya para pemimpin
Islam yang tangguh di masa depan. Dalam kerangka inilah kaderisasi KAMMI
dan revitalisasinya menempati posisi penting untuk mendapat perhatian
lebih.
Dalam mewujudkan masa depan Indonesia berbasis pandangan syumuliyatulIslam
yang jernih maka gerakan harus berupaya mencetak kader-kadernya dalam
setting jangka panjang. Kaderisasi yang berumber dari cita-cita kuat
akan masa depan Indonesia di tangan Islam memicu gerakan untuk
menyiapkan sumber daya handal yang terlatih agar tampil elegan untuk
mampu memimpin bangsa ini di hari kemudian. Dalam konteks dakwah, upaya
sosialisasi gagasan gerakan akan perubahan perlu dikemas dalam
komunikasi efektif yang berpengaruh. Hal ini merupakan upaya akselerasi
kemenangan umat untuk menjadikannya berdaya guna, mampu
mengglobalisasikan keistimewaannya pada peradaban lain dan menjadikannya
lebih kompetitif dan dihargai. Penyelenggaraan komunikan efektif ini
tiada lain adalah dengan mewujudkan sumber daya aktivis yang memiliki
kompetensi, maka dari sinilah agent of change lebih fungsional.
Revitalisasi Peran Mahasiswa
Mahasiswa adalah elemen penting dalam proses perubahan bangsa. Di era awal reformasi, mahasiswa tampil sebagai agent of change
(agen perubah) yang memiliki peran signifikan untuk melakukan
transformasi gerakan yang menghusung kehendak rakyat untuk mereformasi
bangsa secara total. KAMMI di barisan terdepan bersama elemen rakyat
menawarkan Enam Visi Reformasi yang kemudian direspon struktur kekuasaan
dengan pemenuhan beberapa visinya.
Kenyataannya
kini nampak tidak cukup memuaskan, karena apa yang diusung dengan
aplikasinya jauh dari idealisme. Pemerintah nampak tidak memiliki agenda
yang jelas dalam perbaikan masyarakat secara komprehensif. Hal ini
merupakan sumber kritik mendasar, sebab pada kenyataannya ketimpangan
sosial dan permainan politik kian tidak memperjelas arah bangsa. Oleh
karena itu mahasiswa perlu mengambil peran signifikan dalam proses
perubahan dengan melakukan revitalisasi gerakannya agar breakdown gerakannya memiliki dampak pada perubahan yang lebih fundamental. Gerakan mahasiswa harus beralih dari sekedar agent of change menjadi director of change.
Permasalah
utama yang dihadapi bangsa ini adalah hilangnya rasa kepemilikan pada
bangsa itu sendiri oleh mayoritas komponen bangsa. Hal inilah yang
kemudian melahirkan krisis kepemimpinan. Dalam pandangan KAMMI, krisis
kepemimpinan di tingkat nasional adalah minimnya sosok manusia (pemimpin) Indonesia yang memiliki mentalitas dan sikap sebagai negarawan.
Didasari
atas realitas kebangsaan yang berkembang saat ini bahwa perjalanan
reformasi bangsa terhenti pada kualitas para pemimpin bangsa yang
terpilih tidak cukup ideal sebagai sosok pemimpin perubahan menuju
Indonesia baru yang lebih baik. Kebijakan-kebijakan yang menyentuh
kebutuhan harian rakyat dirasakan tidak memiliki orientasi pada
perbaikan kesejahteraan rakyat. Justru yang terjadi adalah pembelokan
kiblat kebijakan pada kepentingan asing dan kemakmuran pragmatis
kelompok dan dirinya. Tidak tampil sosok pemimpin yang memiliki
mentalitas sebagai negarawan, seorang pemimpin yang menjaga nama baik
bangsanya, membela dan memajukan rakyatnya, mendahulukan kepentingan
bangsa dari pada diri dan kelompoknya, serta berorientasi pada
penumbuhan nilai-nilai peradaban (madani). Penjualan aset-aset berharga
yang dimiliki negeri ini secara tidak bijak, kebijakan-kebijakan yang
tidak memihak pada perlindungan seluruh potensi baik yang dimiliki
masyarakat, dan mendahulukan kepentingan individu atau kelompok daripada
kepentingan bangsa merupakan salah satu indikasi dari kurangnya
mentalitas negarawan. Korupsi dan menjual informasi berharga yang
dimiliki bangsa ini dengan murah pada bangsa lain dan melupakan sejarah
panjang perjuangan founding fathers atas berdirinya negeri ini menunjukkan hilangnya jiwa kenegarawanan bangsa. Jika kenyataannya demikian, maka biarlah para mahasiswa menjadikan dirirnya sebagai Mahasiswa Negarawan.
KAMMI,
sesuai visinya melahirkan pemimpin yang tangguh di masa depan berupaya
untuk bersikap bijak bahwa ketimpangan bangsa ini harus diselesaikan
dengan upaya perbaikan dan tawaran-tawaran solusi yang terbaik. Bahwa
pasca bergulirnya reformasi gerakan mahsiswa tidak sekedar menampilkan
sosok kepemudaannya sebagai anak bangsa yang kritis, lebih dari itu
pemuda adalah pewaris yang sah atas masa depan negeri ini, maka ia ikut
bertanggung jawab untuk membangun negeri ini. Dalam proses pembangunan
ini kader KAMMI dituntut untuk seimbang dalam memandang persoalan secara
kritis dan konstruktif (amar ma’ruf nahi munkar). Maka dalam hal ini KAMMI menetapkan persiapan permanen dengan menyiapkan kader-kader yang berjiwa negarawan.
Gagasan terwujudnya director of change
berangkat dari visi gerakan yang berupaya menciptakan masyarakat Islami
dengan menghadirkan para pemimpin perubahan yang tangguh. Para pemimpin
itulah yang merancang dan mengendalikan perubahan. Tidak ada yang
mustahil bagi gerakan mahasiswa untuk mewujudkannya. Sejarah mengajarkan
bahwa di setiap perubahan para pemudalah kunci rahasianya. Menjadi
tokoh perubahan tentu memiliki syarat yang lebih berat daripada sekedar
menjadi aktivis perubahan. Syarat-syarat itu di antaranya adalah
kepribadian yang kokoh, kemampuan berorganisasi dan kemampuan menebar
pengaruh yang kuat di tingkat publik. Dalam logika gerakan pemuda
mewujudkan director of change
setidaknya harus memenuhi lima kompetensi: pertama, pengetahuan dasar
yang kuat dan luas, kedua, wawasan makro kebangsaan, ketiga, kepakaran
dan profesionalitas, keempat, jaringan yang luas dan kepemimpinan yang
kuat dan terlatih, terakhir, kemampuan menyampaikan gagasan pada orang
lain dengan penguasaan diplomasi dan komunikasi massa.
Kritik
mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi reaksionernya pada
berbagai isu. Bentuk reaksioner ini mengindikasikan bahwa gerakan itu
tidak memiliki agenda atau termakan oleh agenda orang lain. Dalam hal
ini KAMMI tidak layak untuk memosisikan demikian. Sebagai organisasi
pergerakan dan pengkaderan, KAMMI memiliki agenda tersendiri yang
memfungsikan dirinya sebagai tren setter (penyeting tren). Bagi KAMMI gerakan mahasiswa bukanlah alat pukul politik yang disibukkan mencari musuh dan bergerak sebagai wacht dog.
Gerakan mahasiswa adalah aset masa depan, maka ia harus memiliki
rencana masa depan bangsanya yang kelak ia pun ikut andil dalam proses
kepemimpinan bangsa ini. Kompetensi dasar di atas itu merupakan wujud
dari pengokohan gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada
pemecahan masalah umat dan bangsa.
Dalam pertimbangan-pertimbangan KAMMI sebagai gerakan mahasiswa dan revitalisasi positioning gerakan di tingkat publik, serta arus sejarah yang dibangun zeit gest (jiwa zaman) itulah maka Manhaj Kaderisasi 1427 H ini disusun.
Muslim Negarawan
Lokakarya
Nasional Kederisasi KAMMI di Sukabumi yang berlangsung pada tanggal 29
Desember s.d.1 Januari 2006 lalu melahirkan rumusan konsep kaderisasi
Manhaj 1427 H. Orientasi Manhaj terbaru ini adalah menghasilkan sosok
kader muslim negarawan. Muslim Negarawan adalah tafsir dari visi KAMMI
yang ingin menciptakan masyarakat Islami di Indonesia dengan strategi
melahirkan sosok pemimpin masa depan yang tangguh.
Sosok muslim negarawan dalam perspektif kaderisasi Manhaj 1427 H adalah kader KAMMI yang memiliki
basis ideologi Islam yang mengakar, basis pengetahuan dan pemikiran
yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada pemecahan
problematika umat dan bangsa, serta mampu menjadi perekat komponen
bangsa pada upaya perbaikan.
Kelima
hal kepribadian muslim negarawan tersebut merupakan substansi diri yang
melekat menjadi karakter kader KAMMI sebagai pemimpin yang tangguh yang
mencakup aspek keyakinan, sistem berpikir, mentalitas, kompetensi, dan
skill leadership. Sosok inilah yang diinginkan KAMMI pada
kader-kadernya. Menjadi seorang negarawan tidak harus menjadi tua
terlebih dahulu. Sejarah Islam mengajarkan bahwa peradaban ini dibagun
oleh para pemuda yang berjiwa pemimpin, bertanggung jawab, visioner, dan
tangguh dalam mengemban misi agama.
Perlu diingat, bahwa menjadi
negarawan tidak harus menjadi birokrat. Lapangan perbaikan bangsa ini
terlalu sempit untuk dikerjakan para birokrat. Namun ‘tidak harus’ bukan
berarti tidak boleh. Sah-sah saja kader aktif mengaplikasikan prinsip
gerakannya ‘perbaikan adalah tradisi perjuangan KAMMI’ di mana pun ia
berada.
Saat
ini tidak cukup signifikan membicarakan ‘posisi’ kader KAMMI di masa
depan, karena berbicara masa depan ‘kader’ (baca: bukan institusi) pasca
KAMMI dijamin hak-hak kebebasannya menentukan
nasibnya di masa depan, dia akan menjadi pemimpin yang tangguh di
bidang apa pun yang dikehendaki sangat tergantung pada dirinya yang
memiliki rencana masa depan pasca—kepengurusan—KAMMI baik secara
individual maupun kolektif. Yang perlu ditekankan saat ini adalah
pemenuhan jati dirinya sebagai kader yang masih terlibat dalam proses
pengkaderan dan penentuan kebijakan gerakan KAMMI. Untuk mengetahui
kualitas jati diri kader KAMMI, dapat dilihat dari sumber dasar kualitas
budaya kader yang kemudian melahirkan IJDK. Sumber dasar itu termaktub
dalam kualitas jati diri kader yang termaktub dalam Filosofi Gerakan.
Di
Dalam Filosofi Gerakan KAMMI terdapat 39 citra kader yang menjadi
karakter personal budaya gerakan KAMMI. Citra kader tersebut merupakan
kualitas khas yang dimiliki KAMMI yang termaktub dalam visi, misi hingga
kredo gerakan, yakni: 1. pemimpin tangguh, 2. iman taqwa, 3.
intelektual, 4. pelopor, 5. komunikatif, 6. solidaritas, 7. amal jama’i,
8. problem solver,
9. independent, 10. ikhlas, 11. pemberani, 12. mujahid, 13. penghitung
resiko yang cermat, 14. perindu surga, 15. abid, 16. da’i, 17. menjauhi
kesia-siaan, 18. visioner, 19. aktif, 20. progresif, 21. manusia
pembelajar, 22. ilmuwan, 23. kritis, 24. politisi, 25. moralis, 26.
transformatif, 27. murobbi, 28. social worker,
29. empatik, 30. supel, 31. manajer, 32. ahli strategi, 33. loyal, 34.
diplomat, 35.luas wawasan, 36. percaya diri, 37. militan, 38.
kemandirian ekonomi, 39. Istiqomah.
Jika
diamati secara seksama 39 karakter personal kader di atas, maka
sesungguhya KAMMI menyimpan potensi kepemimpinan yang tangguh di masa
depan. Bahkan jika kader-kader KAMMI secara individual dan kolektif
intens menempa diri dengan memenuhi kualitas-kualitas tersebut maka yang
terlahir di masa depan tidak sekedar pemimpin yang tangguh, lebih dari
itu adalah kepemimpinan yang tangguh—bahkan tidak sekedar untuk masa depan, masa sekarang pun bisa menjadi medan pembuktian ketangguhan itu.
Muslim Negarawan dan Intelektual Profetik
Apa
yang membedakan antara Muslim Negarawan dan Intelektual Profetik?
Sebelum menjawab pertanyaan ini perlu dikoreksi terlebih dahulu beberapa
persepsi yang salah dalam memandang fase-fase KAMMI. Sebagian
mengatakan bahwa KAMMI saat ini memasuki fase paradigma kedua yakni
Intelektual Profetik. Bahwa
fase perjuangan KAMMI bisa diambil dari paradigma gerakan yang
dihamparkan dalam perjalanannya yang linear. Setelah era dakwah yang
dipenuhi rekrutmen gerakan, lalu masuk era intelektual yang penuh
disesaki perdebatan, setelah selesai lalu KAMMI masuk dalam keterlibatan
sosial, dan seterusnya. Ada juga kader yang melakukan teoritisasi fase
perjuangan (kader-kader) KAMMI dengan mengambil pijakan enam prinsip
perjuangan KAMMI dan disebutkan bahwa sejak masa kelahiran hingga pesta
kebebasan pilihan rakyat adalah era perlawanan KAMMI terhadap penguasa
tirani dan yang berpotensi menjadi tiran, lalu sekarang adalah era
solusi. Sah-sah saja kader melakukan teoritisasi demikian, tidak ada
salahnya jika ternyata memiliki kesesuaian dengan jiwa zaman yang
berkembang. Yang perlu disadari adalah adanya perbedaan antara
paradigma, prinsip dan fase-fase perjuangan.
Jika
paradigma atau prinsip dijadikan fase perjuangan, kesan yang muncul
kemudian adalah parsialisasi dalam menerapkan paradigma atau prinsip
gerakan tersebut. Jika dikatakan sekarang adalah penguatan paradigma
intelektual apakah dengan demikian kita berhenti berdakwah, tidak peka
terhadap realitas sosial, atau karena kendornya kerangka gerakan
tiba-tiba KAMMI beralih menduduki posisi intraparlementer. Begitu juga dengan prinsip gerakan. Tentu bukan seperti itu.
Walaupun keputusan Muktamar KAMMI IV di Samarinda tahun
2004 disebutkan dalam Renstra Tahap I poin enam “Pembangunan posisi
sebagai gerakan intelektual profetik,” namun strategi yang digunakan
bukan berarti meninggalkan peran-peran politik, justru sebaliknya
“dengan membangun tradisi berpolitik KAMMI pada prinsip politik moral berbasis nalar intelektual.”
Di sini jelas bahwa menjawab persoalan bangsa yang kian berkembang ini
tidak cukup dengan gerakan moral yang baik, komplesitas permasalahan itu
harus dipecahkan dengan gerakan politik yang mengoptimasi fungsi ijtihadiyah. Jadi memahami gerakan intelektual profetik janganlah dilihat dari kacamata fase gerakan tapi lebih pada paradigma gerakan.
Lantas
apa yang membedakan antara Intelektual Profetik dan Muslim Negarawan?
Intelektual Profetik adalah paradigma gerakan dan Muslim Negarawan
adalah orientasi kaderisasi. Sederhananya, intelektual profetik adalah
satu di antara empat paradigma gerakan KAMMI. Keempat paradigma ini
dirumuskan berangkat dari luasnya medan amal
perjuangan, pertanyaannya dimanakah KAMMI akan berperan lebih, ataukah
KAMMI sebagai institusi akan mengambil segela peran perbaikan semuanya?
Dari pertanyaan ini maka dibutuhkan kerangka yang menjelaskan jati diri
dan peran-peran KAMMI sebagai gerakan. Dari sanalah maka KAMMI akan
berjuang lebih dengan memerankan dirinya sebagai gerakan mahasiswa
(muslim), bukan yang lainnya.
“Paradigma Gerakan KAMMI adalah cara
pandang menyeluruh (holistik) KAMMI terhadap dirinya sendiri dan cara
mendefinisikan perannya di dalam realitas kebangsaan dan peradaban.
Paradigma Gerakan KAMMI membentuk konstruksi gerakan dan
menderivasikannya dalam program dan agenda gerakan.”
Maksud “cara
pandang menyeluruh (holistik) KAMMI terhadap dirinya sendiri” adalah
cara pandang KAMMI terhadap potensi real dirinya sebagai mahasiswa
(muslim). Jika di luar dari potensi yang dimiliki KAMMI sebagai
mahasiswa, kemungkinan besar peran-peran yang akan dilakukan sangatlah
kecil bahkan hampir tidak mungkin melakukannya karena dia tidak
berpotensi akan hal tersebut. Terdapat empat potensi inti yang dimiliki
mahasiswa yakni nurani kebenaran, kecerdasan intelektual, sensitivitas
sosial, idealisme untuk mewujudnya kebenaran dan keadilan. Potensi
dakwah, intelektual, sosial, dan politik yang dimiliki KAMMI ini
kemudian diolah menjadi sebuah “cara mendefinisikan perannya di dalam
realitas kebangsaan dan peradaban”. Maka lahirlah empat paradigma:
seruannya adalah seruan tauhid, intelektualnya adalah intelektual profetik/nubuwah
(bukan berkiblat pada intelektual liberal), bangunan sosialnya adalah
sosial independen (bukan ketergantungan), dan garis politik gerakannya
adalah gerakan politik ekstraparlementer.
Jadi
jelas bahwa Intelektual Profetik adalah paradigma gerakan dan Muslim
Negarawan adalah orientasi kaderisasi. Paradigma memperjelas kedudukan
KAMMI sebagai gerakan muslim mahasiswa, sedangkan Muslim Negarawan
menjembatani realitas kekinian dengan cita-cita/visi KAMMI. []
*) Rijalul Imam, S.Hum., Ketua
KAMMI Daerah Istimewa Yogyakarta, Tim Ad Hoc Perumus Manhaj Kaderisasi
1427 H KAMMI Pusat, baru saja menyelesaikan studi di jurusan Sejarah
Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Posting Komentar